MEMBANGUN MAHASISWA USM
Banda Aceh,18 Maret 2013 oleh : Aiza Rafsanjani
Potret mahasiswa USM dewasa ini menunjukkan dunia pendidikan di
bumi Serambi Kekkah. Kaum berpendidikan Aceh mencapai level Quo Vadis. Status
Quo Vadis merujuk pada bahasa latin yang bermakna: mau dibawa kemana?. Dimulai
dari frasa itu, saya mencermati kondisi riil dan faktual dari aktivitas
kemahasiswaan di Universitas Serambi Mekkah.
Pertama, lesunya kreativitas
dalam konteks kegiatan yang beragam dan memiliki daya positif yang membangun.
Kebanyakan kawan-kawan mahasiswa berkutat pada tradisi yang ada, dengan tanpa
mentranformasikan bentuk dari kegiatan-kegiatannya. Orientasi Studi dan
Pengenalan Kampus (OSPEK), misalnya, selalu mengulang dari tahun-tahun
sebelumnya.
Kedua, daya saing secara nasional
yang diperkirakan kurang. Momen untuk membangkitkan pendidikan tinggi
berkualitas terus-menerus dilewati. Kawan-kawan mahasiswa banua seakan terbuai
dalam lingkungannya sendiri. Output dari keilmuan yang seharusnya diterapkan
oleh intelektual-intelektual tersebut belum terdeteksi secara luas. Karya-karya
ilmiah sebagai salah satu implementasi Tri Dharma Perguruan sampai saat ini,
tidak (belum) mengguncang dunia akademis Aceh – terutama oleh mahasiswanya
sendiri.
Perangkat sivitas akademika pun
turut terasa membiarkan ‘kebiasaan’ itu dipelihara. Hal ini diperparah dengan
oknum pendidik yang korup. Bukan hanya term korupsi dalam istilah yang berhubungan
dengan uang, namun lebih spesifik pada korupsi passion for teaching. Amanah
menyampaikan ilmu dikalahkan oleh keegoistisaan. Artinya kesadaran membangun
generasi bangsa yang berdaya saing tinggi dirasa masih lemah.
Ketiga, fenomena pemisah (gap)
antara mahasiswa aktivis dan mahasiswa biasa (yang hanya berkuliah) cukup
tinggi. Inilah problem utama dari mahasiswa USM . Kuantitas dan kualitas dari
kedua unsur mahasiswa tersebut cukup signifikan. Pernyataan ini dilihat dari
jumlah komunitas-komunitas kemahasiswaan terlalu sedikit, berbeda dibanding
dengan perguruan tinggi di luar ka Aceh. Semua itu berdampak pada tren seperti
pada argumentasi yang pertama dan kedua di atas. Mahasiswa akan kekurangan
kreativitas dan kepedulian sosialnya, karena masalah kelangkaan mahasiswa
inovatif, kreatif, serta berkemampuan sosial. Maka, untuk apa menuntut ilmu
tinggi jika ia tak mampu membangun lingkungan sosialnya sendiri?.
Faktor tiga argumen di atas
utamanya dipicu oleh kebudayaan, lingkungan sosial, dan kurang maksimalnya
pengadaan teknologi informasi. Kondisi faktual dan aktual ini jika tidak
sesegera mungkin diantisipasi, akan berimplikasi pada generasi Aceh di masa
depan. Ketertinggalan kaum terdidik tinggi akan semakin nyata dampaknya
dikemudian hari. Refleksinya dapat kita lihat sehari-hari, semakin panasnya dan
semakin sempitnya hidup di Banda aceh. Saya berpikir andai saja mahasiswa
teknik mampu menciptakan solusi atasi
kemacetan dibeberapa titik di kota yang berjulukan serambi mekkah ini dan
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dapat lapangan kerja baru ..
Bukan sekadar mimpi kalau
mahasiswa aceh dapat mencapai prestasi demi membanggakan daerah kita. Suku Aceh
bukanlah suku bangsa pinggiran, cukup banyak asli Aceh yang berkiprah dan
berandil besar langsung kepada Negara. Namun kenyataan masa kini yang membuat
suku kita ini terkapar. Hampir jarang sekali kita mendengar suku Aceh
disebut-sebut dalam ranah nasional, paling tidak untuk beberapa tahun
belakangan. Kita tidak cukup berbangga dengan hasil perekonomian yang tinggi
jika mayoritas pribuminya bukan termasuk masyarakat yang unggul.
Rumusan solusi atas segenap
permasalah di atas kiranya dapat ditentukan dengan cara, pertama, orientasi
pendidikan tinggi lebih terhadap mahasiswa. Urgensi membangun mahasiswa Aceh
yang unggul secepatnya melalui mekanisme pendidikan berkarakter secara
intensif. Tidak cukup itu, dosen juga menyusupkan nilai-nilai pentingnya ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang hukumnya wajib dikuasai oleh penerus
bangsa dalam perkuliahannya. Caranya dengan memotivasi atau memberikan contoh
bagaimana mengelola dan mengembangkan iptek dalam seluruh bidang.
Kedua, pembudayaan belajar dan
kepekaan sosial lingkungan. Ini penting, mengingat aspek permasalahan banua
diseputar bidang itu. Pepatah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, masih
relevan diterapkan sampai saat ini. Tujuannya agar wawasan pemuda semakin luas
lagi, dan membuka jalan pada konektivitas kepada dunia. Yang paling penting,
kawan-kawan mahasiswa bersukarela menumbuhkan jiwa sosial, terutama membantu
perkembangan daerah kita sendiri. Sehingga kejayaan bangsa banjar masa lalu
dapat dibangkitkan kembali di masa depan. Itulah pentingnya membangun mahasiswa
USM.
0 Responses to "Membagun Mahasiswa USM"
Posting Komentar